Neoliberalisme dan Neokapitalisme

Posted on 26 Februari 2010

0


MANUSIA semakin rakus dan uang sudah segalanya. Itulah penyebab kehancuran dunia. Perbankan dan bisnis lembaga keuangan yang seharusnya berazaskan kepercayaan (trust), confidence, prinsip kehati-hatian dan good corporate governance saat ini sudah menjadi sarang penyamun. Simak kisah drama “pembobolan” uang milik rakyat Aceh Utara yang didepositokan pada bank ternama di Jakarta. Produk-produk “kapitalisme” adalah konsumerisme, materialisme, dan hedonisme (kepuasan jasmani). Semakin sedikit pejabat negara yang mampu bertahan atas godaan miliaran rupiah, apalagi triliunan rupiah di tengah kecilnya gaji yang mereka terima sedangkan kebutuhan sekolah anak-anak dan gaya hidup konsumtif, materialistis yang ditawarkan dunia melalui iklan barang-barang mewah seperti mobil, perangkat elektronik, rumah-rumah mewah, lapangan golfdengan caddy cantiknya, dan gaya kenikmatan hidup (hedonisme) yang sangat menggiurkan lainnya.

Saat ini setiap orang harus memiliki sedikitnya dua handphone. Mall bertaburan tempat mejeng anak-anak muda dan orang dewasa dengan gaya berpakaian dan accessories bermerek. Kota Medan sudah menjadi trend pejabat di Aceh untuk dikunjungi setiap akhir pekan, sekedar untuk melepas lelah setelah lima hari bekerja keras menghasilkan uang melimpah untuk diri sendiri dan keluarga dengan menjual program yang mengatasnamakan rakyat (jama’ah). Identitas kita adalah mobil dan barang yang kita pakai. Semua ini ditawarkan sistem kapitalis. Membuat semua menjadi munafik dan rusak akhlaknya. Istilah lain, “pendapatan lokal untuk pengeluaran global”. Sistem kapitalisme sudah benar-benar menghancurkan dunia dan Indonesia, tak kecuali di Aceh.

Kata para pengamat, bahwa neokapitalisme dan Neoliberalisme memang sudah berakhir. Tapi kapitalis yang selalu berujung pada kerakusan belum berakhir, dan sedang berlalu. Negara yang kaya namun rakyatnya hidup morat marit, dan ini terus diincar kaum kapitalis rakus untuk dijadikan lahan bermain. Pemilu presiden tahun ini bakal menjadi cermin adanya indikasi permainan kaum kapitalis untuk terus brusaha menguasai negeri ini. Mereka tidak akan menginginkan kandidat-kandidat yang akan mengurangi atau membatasi sepak terjang mereka. Indonesia yang ditakutkan oleh kaum kapitalis akan menjadi Iran kedua atau Venezuela kedua dan bahkan Bolivia kedua dalam pemilu tahun ini. Sadar atau tidak, akan dipaksa agar pemenangnya adalah kandidat yang bakal tetap melindungi kepentingan mereka.

Indonesia teralalu kaya bahkan terlalu sexy untuk tidak dilirik oleh mereka. Dengan 230 juta jiwa penduduknya menjadi pasar sangat potensial dan keranjang sampah bagi negara-negara industri. Jangan pernah bermimpi Indonesia akan mampu berdiri di atas kaki sendiri dan memiliki banyak orang-orang pintar dalam segala bidang disiplin ilmu pengetahuan, meski memiliki segudang professor. Kenyataan yang tak dapat dipungkiri sampai dengan hari ini peniti dan jarum jahit saja masih made in China yang sudah dipasarkan di sini sejak zaman pendudukan Jepang. Apalagi peralatan kebutuhan pertanian dan industri canggih, semua produk asing. Sebut saja Aceh, meskipun sudah memiliki dokter hewan yang hebat. Bahkan dipilih oleh rakyat untuk menduduki kursi gubernur sekalipun, namun setiap hari rakyat Aceh harus mentransfer uang 550 juta rupiah ke Medan hanya untuk membayar 1 juta butir telur ayam Australi, dengan asumsi 1 dari 4 orang penduduk Aceh mengkonsumsi satu butir telur per hari. Itulah kenyataan dan satu contoh korban kerakusan Neoliberalisme dan Neokapitalisme.

Jangan pernah berbicara tentang me-review (meninjau kembali) kontrak karya generasi pertama di bidang minyak dan pertambangan, itu kehendak para kaum kapitalis. Rakyat cukup sebagai kuli kontrak dan penonton saja. Kaum kapitalis mengangkut berton-ton emas dan mengapalkan ribuan barrel minyak dan gas setiap harinya dari perut bumi, sementara negara harus puas dengan satu persen sesuai yang tercantum dalam setiap kontrak karya. Pun dengan pemerintahan Aceh yang setali tiga uang dalam sistem bagi hasil pusat dan daerah dari perolehan keuntungan minyak dan gas bumi tidak mampu berbuat banyak dalam menghadapi kaum kapitalis yang sudah terbiasa merekayasa biaya operasional atau pengeluaran sehingga hasil yang harus dibagi menjadi sekecil-kecilnya. Sebenarnya yang sangat diuntungkan dalam setiap bentuk kerjasama dengan kaum kapitalis adalah para pengambil keputusan yang konon katanya “komisi yang diperoleh cukup untuk menghidupi tujuh keturunan pejabat”, bukan untuk rakyat seperti yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945.

Komunis sudah bertakhir. Gordon Brown dalam komunike akhir pertemuan puncak KTT G20 tanggal 2 april 2009 di London mengatakan bahwa “Washington Consensus” yang merupakaninstrumen Neoliberalisme dan Neokapitalisme pun sudah berakhir. Saat ini adalah era Globalisasi. Meski perdebatan antara kedua paham tersebut tidak relevan lagi untuk hanya diperdebatkan. Toh China yang masih Komunis tapi juga sudah menjadi kapitalis. Kegagalan Komunis karena terlalu banyak bergantung kepada Negara. Sedangkan Kapitalis tanpa campur tangan Negara.

Kita terlalu sering mengolok-olok para pendahulu kita dengan kalimat “ gara-gara mereka sibuk memungut uang receh yang ditembakkan meriam Belanda ke rumpun bambu maka hari ini kita jadi begini”. Semoga saja anak cucu kita kelak tidak balas mengolok-olok dengan kalimat “gara-gara kakek sibuk sikut-sikutan berebut uang receh yang dihamburkan pemerintah pusat di jembatan-jembatan, jalan-jalan dan bangunan-bangunan.” Mudah-mudahan pemilu presiden kali ini pemenangnya adalah rakyat, bukan kaum kapitalis.

Penulis : T.Ismuhadi Peusangan, adalah Narapidana Politik Aceh yang ditahan di pulau Jawa sejak tahun 2000.

Catatan: Beberapa suntingan diatas bukanlah merupakan hak kekayaan intelektual penulis, namun penulis sunting dari buku Uang & Malapetaka Dunia, yang ditulis oleh Theo F Toemion di Penjara Cipinang, Jakarta.

Ditandai:
Posted in: Umum